Tugas 5
KESATUAN DAN KERAGAMAN:
Perspektif Iman Kristen Berdasarkan Studi Biblika
oleh: Denny Teguh Sutandio
Di
dunia ini, kita mendapati begitu banyak keragaman: suku, agama, bangsa,
bahasa, etnis, kebudayaan, status sosial, dll. Khususnya di Indonesia,
secara dasar negara, meskipun terdiri dari beragam budaya, agama, dll,
bangsa ini mengaku bahwa semuanya itu satu yaitu bangsa Indonesia
(Bhinneka Tunggal Ika). Apa arti kesatuan dan keberagaman? Bagaimana
iman Kristen menyikapi kesatuan di dalam keberagaman (unity in
diversity)?
Mari kita menyelidiki apa kata Alkitab berkaitan dengan keragaman dan kesatuan sejati.
Kalau
kita kembali ke Alkitab, khususnya dari kitab pertama yaitu Kejadian,
kita telah mendapati adanya keragaman. Allah sendiri di dalam penciptaan
menciptakan keberagaman itu: “Berfirmanlah Allah: "Hendaklah tanah
menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis
pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada
tumbuh-tumbuhan di bumi." Dan jadilah demikian.” (Kej. 1:11), “Maka
Allah menciptakan binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis
makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala
jenis burung yang bersayap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.”
(Kej. 1:21; bdk. ay. 24), dan terakhir tentunya Allah menciptakan
manusia itu laki-laki dan perempuan. Kesemuanya itu membuktikan bahwa
keberagaman itu adalah ide Allah sendiri. Bahkan perintah Allah sendiri
kepada manusia pertama di Kejadian 1:28 menunjukkan bahwa Allah menyukai
keberagaman, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Namun, manusia
pertama bukannya menaati Allah, namun memberontak, sehingga mereka
diusir dari Taman Eden. Dan sejak saat itulah, mereka membenci ide
keragaman dan berusaha bersatu melawan Allah. Hal itu ditandai dengan
rencana mereka membangun Menara Babel di Kejadian 11. Di sini, dosa
mengakibatkan persatuan, namun persatuan itu melawan Allah. Namun Allah
yang berdaulat menggagalkan rencana mereka, sehingga akhirnya mereka
kembali terserak.
Di dalam Perjanjian Lama, kita mendapati bahwa
Allah memilih umat-Nya pun bukan dari satu bangsa, tetapi dari beberapa
bangsa. Nuh yang merupakan anak dari Lamekh (keturunan Adam) dipilih
Allah untuk menjadi saksi-Nya ketika manusia di zamannya berdosa melawan
Allah (Kej. 5:30). Abraham (dahulu bernama Abram) yang merupakan anak
dari Terah yang tinggal di Ur-Kasdim (Kej. 11:27) dipanggil Allah untuk
menerima perjanjian-Nya (Kej. 12:1-3). Dari keturunannya, lahirlah
Ishak, Ishak melahirkan Yakub, dan dari Yakub, Allah menyebut Yakub
sebagai Israel dan nama ini menjadi cikal bakal nama suatu bangsa (Kej.
32:28). Semenjak itulah, Allah memelihara umat Israel sebagai umat
kepunyaan-Nya. Namun, umat Israel tidak sama dengan bangsa Israel,
karena umat Israel merupakan umat khusus Allah yang TIDAK dibatasi oleh
bangsa Israel atau lahir di Israel (bdk. Rm. 9:6). Selain itu, Tuhan
Yesus langsung menjawab para orang Yahudi yang mengklaim bapanya adalah
Allah dengan berfirman, “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan
mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang
bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku.
Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat
menangkap firman-Ku. Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin
melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak
semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada
kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya
sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta. Tetapi karena
Aku mengatakan kebenaran kepadamu, kamu tidak percaya kepada-Ku.
Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila
Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku?
Barangsiapa berasal dari Allah, ia mendengarkan firman Allah; itulah
sebabnya kamu tidak mendengarkannya, karena kamu tidak berasal dari
Allah.” (Yoh. 8:42-47) Dengan kata lain, Ia hendak mengajar mereka dan
kita bahwa umat Allah bukan dinilai dari orang yang lahir di Israel atau
mengikuti syariat keagamaan, tetapi umat yang telah mendapat kovenan
dari Allah atau dilahirkan dari Allah. Di sini, kita belajar yang
namanya anak-anak Tuhan BUKANlah mereka yang menjadi anggota suatu
gereja tertentu atau telah menerima sakramen tertentu, tetapi mereka
yang sungguh-sungguh telah dipilih dan ditentukan-Nya dari semula (Rm.
8:29-30).
Lama-kelamaan, umat Israel bertambah banyak, namun
apakah dengan semakin banyak umat Israel, mereka menjadi tanpa arah?
TIDAK. Untuk mencegah hidup mereka yang tanpa arah, Allah yang telah
mengeluarkan umat Israel dari Mesir memberikan 10 perintah untuk ditaati
umat Israel (Kel. 20). Dasa titah itu merupakan dasar pemersatu umat
Israel agar mereka yang beraneka ragam bisa bersatu menjalankan firman
Allah. Di sini, kita belajar konsep kesatuan (Ing.: oneness;
keseragaman) ala manusia berdosa di Menara Babel diruntuhkan oleh Allah
dan diganti dengan konsep persatuan sejati (Ing. unity) yaitu bersatu di
dalam Allah dan firman-Nya. Selain Dasa Titah, Allah juga memberitakan
aturan baku di dalam kitab Imamat tentang tata cara ibadah dan kelakuan
yang mengatur hidup umat Israel. Cara Allah memberikan dasar persatuan
bagi umat-Nya ternyata tidak ditaati, bahkan mereka memberontak dan
menginginkan seorang raja seperti bangsa-bangsa lain (1Sam. 8). Mereka
berpikir bahwa dengan hadirnya seorang raja dunia, maka sang raja bisa
memerintah sekaligus mempersatukan mereka, padahal mereka tidak
menyadari bahaya dipilihnya seorang raja tersebut (1Sam. 8:10-18).
Namun, meskipun sudah diberi tahu bahaya dipilihnya seorang raja, bangsa
Israel tetap bersikeras minta raja (1Sam. 8:19). Kelakuan mereka secara
tidak sadar hendak mengulang sejarah kelam Menara Babel yang
menginginkan persatuan duniawi atau seseorang yang kelihatan yang
mempersatukan mereka dengan menolak Allah dan pemerintahan-Nya.
Tegar
tengkuknya orang Israel ternyata menuai akibatnya sendiri. Saul yang
dipilih sebagai raja pertama Israel ternyata juga tidak beres (1Sam. 13,
15), karena bukan dia yang Tuhan pilih, tetapi Daud (1Sam. 16:1-13).
Daud memang menjalankan pemerintahannya dengan benar, namun dia tidak
tahan dengan godaan dosa seksual, sehingga Batsyeba yang sedang mandi
pun diincarnya untuk dijadikan istrinya. Cara licik pun dipakai Daud
dengan membunuh Uria, istri Batsyeba untuk mempersunting Batsyeba (2Sam.
11). Sesudah Daud menjadi raja dan meninggal, maka Salomo
menggantikannya. Salomo pada awalnya memang tulus yaitu meminta hikmat
Tuhan untuk memerintah Israel, karena waktu itu usianya masih muda
(1Raj. 3:6-9). Namun ketulusan hatinya berlangsung sebentar. Karena
Salomo makin kaya dan terkenal, maka Salomo menjadi lupa diri. Ia jatuh
ke dalam penyembahan berhala melalui banyak perempuan asing yang
dinikahinya (1Raj. 11). Akibatnya, Tuhan murka dan membagi kerajaan
Israel menjadi 2 (1Raj. 12). Penerusnya, Yerobeam dan Rehabeam juga
tidak takut akan Tuhan. Kemudian, sejak 1 Raja-raja 15 hingga kitab 2
Raja-raja selesai, kita mendapati riwayat 2 kerajaan: Israel dan Yehuda
bergantian diperintah oleh raja yang berganti-ganti: raja pertama takut
akan Tuhan, penerusnya tidak (atau sebaliknya). Di sini, kita belajar
bahwa ketika dasar persatuan sejati yaitu firman Allah ditolak, maka
bangsa akan menjadi porak poranda. Kedegilan hati mereka mengakibatkan
mereka dibuang oleh Allah ke Filistin, dll. Di masa intertestamental,
Allah tidak berfirman apa pun kepada umat-Nya karena Ia akan mengutus
Sang Mesias yaitu Kristus untuk benar-benar memberitakan Kabar Baik
kepada umat-Nya.
Ketika Kristus datang, Ia memberitakan Injil
kepada banyak orang tanpa melihat status sosial, etnis, dll. Keragaman
kembali dimulai oleh Kristus, namun sekali lagi bukan tanpa dasar yang
mempersatukan, karena yang diberitakannya adalah Injil yaitu Kabar Baik
bahwa ada pengharapan di dalam Dia. Injil yang Kristus beritakan adalah
dasar pemersatu keragaman manusia saat itu, sehingga manusia dari
beragam status, etnis, dll dapat mendengar Injil tersebut. Setelah Ia
mati disalib dan bangkit, maka sebelum Ia naik ke Sorga, Ia berfirman,
“Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” (Mat. 28:18-19) dan “Tetapi kamu akan
menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan
menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan
sampai ke ujung bumi.” (Kis. 1:8) Kembali, Kristus menekankan pentingnya
keragaman etnis, bangsa, dll dengan dasar pemersatu: Injil Kristus.
Bukan
hanya Kristus, rasul Paulus pun menekankan hal ini. Di dalam 2
suratnya, Paulus mengajar tentang keragaman etnis, status, dll di dalam
kesatuan: Kristus. Misalnya, di Galatia 3:28, Paulus mengajar, “Dalam
hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau
orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua
adalah satu di dalam Kristus Yesus.” dan di Kolose 3:11, ia mengajar,
“dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat
atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang
merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” Dua
ayat ini TIDAK berarti semuanya seragam antara Yahudi dan Yunani, hamba
dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, dll. TIDAK. Kesatuan di
dalam Kristus TIDAK meniadakan keragaman, tetapi menghargai dan
mempersatukan. Jika dua ayat ini ditafsirkan bahwa laki-laki dan
perempuan itu seragam tanpa ordo/urutan, maka tentu saja Paulus tidak
perlu mengajar bahwa istri tunduk kepada suami dan suami harus mengasihi
istrinya (Ef. 5:22-33; Kol. 3:18-19). Bahkan untuk mengajarkan
pentingnya kesatuan dalam keberagaman, maka Paulus mengajar bahwa setiap
anak Tuhan diberikan karunia yang beraneka ragam, namun semuanya
dipakai untuk membangun tubuh Kristus (1Kor. 12:5-10). Keragaman karunia
itu dijelaskan Paulus di ayat 4 sebagai dasarnya yaitu, “Ada rupa-rupa
karunia, tetapi satu Roh.” Dengan kata lain, keragaman karunia rohani
itu yang berasal dari satu Roh dan bertujuan untuk membangun tubuh
Kristus seharusnya tidak membuat umat Tuhan bertengkar memperebutkan
mana yang lebih penting, karena semuanya itu satu tubuh (bdk. 1Kor.
12:12-30) dan didasari oleh kasih sebagai dasar pemersatunya (1Kor.
12:31-13:13). Bahkan ia mengajar pentingnya kesatuan tubuh Kristus
khusus di Filipi 2:1-11 dengan tujuan agar mereka yang bersatu di dalam
Kristus tidak meninggikan diri mereka masing-masing, tetapi saling
merendahkan diri seperti Kristus yang merendahkan diri-Nya untuk mati
menebus dosa manusia.
Kesatuan di dalam keragaman juga ditandai
dengan dicatatnya para pahlawan iman di dalam Ibrani 11:4-40. Mereka
dipakai Tuhan secara berbeda-beda sesuai konteks panggilan mereka, namun
intinya satu: IMAN kepada Allah dan kekuatan-Nya yang menguatkan mereka
meresponi panggilan Allah tersebut.
Dari studi singkat Alkitab baik dari PL maupun PB, maka apa saja yang bisa kita pelajari tentang keragaman dan kesatuan?
Pertama,
Tuhan adalah sumber keragaman sejati. Di titik pertama, di kitab
Kejadian 1, kita telah membaca bahwa Allah menciptakan manusia,
binatang, dan tumbuhan di dalam keanekaragaman. Diserakkannya para
pembangun Menara Babel juga membuktikan Dia tidak mau manusia bersatu
dengan tujuan melawan Allah dan perintah-Nya untuk memenuhi bumi. Di
dalam PB, kita belajar bahwa Allah yang sama juga menghendaki keragaman
melalui: Kristus yang memerintahkan para murid-Nya untuk memberitakan
Injil sampai ke ujung bumi, diakuinya beragam karunia rohani dari
anak-anak Tuhan, dll dengan tujuan agar masing-masing anak Tuhan dengan
latar belakang berbeda dan karunia yang dimilikinya sama-sama
memuliakan-Nya. Dengan kata lain, meskipun ada keragaman, tujuannya
jelas yaitu untuk kemuliaan Allah, bukan keragaman tanpa arah!
Bagaimana
dengan kita khususnya orang Kristen? Terkadang, saya pribadi menjumpai
beberapa orang Kristen dengan pola pikir theologi tertentu (sangat) anti
dengan keragaman. Dengan pola pikir generalisasi tanpa dasar yang
jelas, keragaman dicap postmodernisme dan sesat, padahal Alkitab dari
Kejadian 1 jelas-jelas mencatat adanya keragaman. Di dalam satu gereja,
jika ada sedikit perbedaan ajaran secara sekunder antara satu jemaat
dengan pendetanya (misalnya berkaitan dengan gaya ibadah: kuno/pakai
liturgi vs modern, lagu-lagu rohani himne dan klasik vs kontemporer,
dll), si pendeta dengan gegabah mungkin akan mencap jemaatnya sesat atau
sudah menjadi sekuler/duniawi, padahal itu hanya perbedaan sekunder,
bahkan tersier/tidak terlalu penting! Di dalam lingkup Kekristenan
keseluruhan, ada pendeta yang percaya baptisan anak dengan tanpa mikir
langsung mengatakan sesat bagi mereka yang tidak menjalankan baptisan
anak. Perbedaan sekunder dianggap berasal dari setan, dll, padahal
perbedaan itu bukanlah perbedaan inti. Saya benar-benar prihatin dengan
kondisi Kekristenan khususnya yang ekstrem. Di dalam kehidupan
sehari-hari, ada orang kaku yang dengan kolot menolak mentah-mentah
keberbedaan dengan memaksakan cara pikir, sikap, dll dari si orang kaku
ini dengan orang lain. Semua harus seragam dengan si orang kaku ini,
jika ada yang tidak sama, orang kaku ini akan kebakaran jenggot.
Saya
tidak mengatakan bahwa keragaman dalam segala sesuatu itu suci, karena
memang saya mengakui bahwa dunia kita menganut banyak keragaman yang
tanpa arah (alias suka-suka gue). Kalau Anda membaca paragraf di atas,
yang saya soroti adalah keragaman dalam hal sekunder, bukan primer,
sehingga jangan salah menafsirkan maksud saya!
Jika kita sebagai
orang Kristen mengakui keragaman, maka sikap kita seharusnya terhadap
keragaman itu adalah saling menghargai. Untuk hal-hal sekunder, misalnya
perbedaan konsep akhir zaman, cara baptisan, dll, kita bisa menjelaskan
tentang prinsip kepercayaan kita kepada saudara Kristen lain yang
berbeda pandangan dengan kita, namun jika saudara Kristen kita itu tidak
menerimanya, maka kita tidak usah lagi meributkannya dan kita perlu
menghargai perbedaan konsep itu. Kalau untuk hal-hal tersier, misalnya
perbedaan selera makanan, model pakaian, dll, kita tidak perlu
menjelaskannya (kecuali kalau itu berhubungan dengan hubungan lawan
jenis, entah itu pacaran maupun sudah menikah), karena penjelasan itu
kurang berguna. Apa gunanya meributkan selera makanan atau selera
berpakaian, karena Tuhan memberikan kepada kita masing-masing variasi
selera yang beragam. Bayangkan jika semua orang Kristen memiliki selera
warna pakaian yang sama, apakah itu indah? TIDAK. Di dalam hal
doktrinal, perbedaan tersier, misalnya apakah X itu seorang Calvinis
yang menganut infralapsarian Vs supralapsarian atau predestinasi tunggal
(Allah hanya memilih beberapa manusia untuk diselamatkan) Vs
predestinasi ganda (Allah hanya memilih beberapa manusia untuk
diselamatkan dan membuang sisanya untuk dimasukkan ke dalam neraka),
bagi saya, itu tidak usah diributkan.
Kedua, di dalam keragaman,
Tuhan tetap menghendaki kesatuan. Di dalam keanekaragaman, Tuhan tidak
membiarkan keragaman itu berjalan tanpa arah. Hal ini bisa kita lihat
dari diwahyukannya Dasa Titah, diberitakan Injil, dan dikaruniakannya
karunia-karunia Roh, dll sebagai dasar yang mempersatukan dan
mengarahkan keragaman umat Tuhan di dalam hidup menjalankan
panggilan-Nya. Dengan kata lain, kesatuan sejati (the true unity) TIDAK
boleh dilepaskan dari Allah dan firman-Nya!
Bagaimana dengan kita? Di
dunia ini, bahkan di dalam Kekristenan, kita terlalu banyak mendapati
kata “persatuan”, namun sayang persatuan yang ditekankan kebanyakan
mereka adalah persatuan tanpa arah. Mereka mau bersatu artinya mereka
bukan bersatu di dalam firman Tuhan, tetapi maksudnya bersatu: tidak
menekankan doktrin/ajaran theologi tertentu. Yang lebih memprihatinkan,
seorang pendeta Reformed pernah berkata bahwa beliau diundang berkhotbah
di dalam suatu persekutuan interdenominasi dan disuruh
berkhotbah/mengajar dengan tema Predestinasi, namun si panitia
memberikan “pesan sponsor” kepada si pendeta agar si pendeta tidak
membicarakan doktrin tertentu. Cape dech Tema yang akan dibahas:
Predestinasi (dipilih sebelum dunia dijadikan), tetapi tidak boleh
membicarakan doktrin tertentu? Suatu ketidakmasukakalan! Dengan kata
lain, di dalam suatu persekutuan yang bersifat interdenominasi, kalau
mau konsisten, si panitia akan mengundang para pengkhotbah lintas
denominasi: Protestan Injili, Karismatik, Methodist, Orthodoks Syria,
bahkan Katolik. Pengkhotbah yang satu mengajar bahwa ikut Kristus pasti
kaya, sehat, sukses, sedangkan pengkhotbah yang lain mengajar bahwa ikut
Kristus harus menderita, yang lebih konyol pengkhotbah terakhir malah
meragukan apakah Kristus itu Tuhan atau bukan. Silahkan pikir sendiri
apa yang akan terjadi pada orang Kristen yang mengikuti persekutuan
gado-gado ini. Tetapi sejujurnya, saya mengamati beberapa persekutuan
yang mengaku bersifat interdenominasi, para pengkhotbah yang diundang
mayoritas berasal dari gereja kontemporer yang pop, sedangkan sedikit
sekali pengkhotbah berasal dari gereja Protestan Injili.
Saya tidak
mengatakan bahwa interdenominasi itu salah, tetapi yang saya soroti
adalah semangat di balik perkataan “interdenominasi.” Bagi saya,
interdenominasi sejati adalah orang Kristen dari berbagai macam aliran
gereja bersama-sama belajar firman Tuhan/Alkitab dengan prinsip
penafsiran yang bertanggung jawab (memperhatikan teks asli: Ibrani dan
Yunani, konteks dan latar belakang, perbandingan terjemahan, tafsiran,
dll), lalu setelah itu, mereka diizinkan kembali ke gereja asal mereka
masing-masing untuk membagikan berkat rohani yang telah didapatkannya
itu. Yayasan Kristen atau seminari theologi yang bersifat
interdenominasi bukanlah yayasan Kristen atau seminari yang tidak
memiliki fondasi doktrin, tetapi memiliki fondasi doktrin yang kokoh,
namun menerima pengurus, dosen, staf, dan mahasiswa dari berbagai
denominasi gereja untuk melayani dan belajar firman Tuhan bersama dengan
dasar yang jelas.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita
benar-benar memaknai keragaman dan kesatuan sebagaimana yang diajarkan
Alkitab? Biarlah kita makin hari makin bijak menyikapi keragaman dan
kesatuan, lalu mengaitkannya di atas dasar Alkitab, sehingga kita tidak
terjebak ke dalam sikap ekstrem: kompromi tanpa arah yang jelas (semua
itu sama) atau eksklusif yang berlebihan. Amin. Soli DEO Gloria.